Tiga Pilar Utama Sumber Segala Dosa

Tiga Pilar Utama Sumber Segala Dosa

Tiga Pilar Utama Sumber Segala Dosa

(Oleh Sugeng Hariyanto)

 

Allah memberikan kepada manusia sifat baik dan tercela yang lebih dikenal dengan al akhlaq al Mahmudah (akhlak yang baik) dan akhlaq al madzmumah.(akhlak tercela). Pertanyaan yang muncul adalah kita mau ke surga atau ke neraka?. Jika kita mengharapkan ke surga maka kita jauhi akhlaq al madzmumah.(akhlak tercela). Dalam kesempatan ini saya akan uraikan diantara akhlak tercela yang bisa menyebabkan kesalahan dan merupakan sumber dari segala dosa, yaitu :

  1. Takabbur (sombong)
  2. Hasad (dengki)
  3. Tamak (rakus)

Ketiga sifat tersebut oleh ummat muslim haruslah dijauhi agar terhindar dari kesalahan yang lebih besar.

Takabbur

Takabbur atau sombong yang dikenal dalam bahasa syariat dengan sebutan al-kibr yaitu melihat diri sendiri lebih besar dari yang lain. Orang sombong itu memandang dirinya lebih sempurna dibandingkan siapapun. Dia memandang orang lain hina, rendah dan lain sebagainya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hakikat kesombongan dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa salllam,

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” [H.R. Muslim, no. 2749, dari ‘Abdullah bin Mas’ûd]

Inilah yang membedakan takabbur dari sifat ‘ujub (membanggakan diri, silau dengan diri sendiri). Sifat ‘ujub, hanya membanggakan diri tanpa meremehkan orang. Sedangkan takabbur, disamping membanggakan diri juga meremehkan orang.

Allah berfirman dalam surat Luqman ayat 18:

“ Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

Dalam surat al Hadiid ayat 23 disebutkan :

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” [H.R. Muslim, no. 2749, dari ‘Abdullah bin Mas’ûd]

Inilah yang membedakan takabbur dari sifat ‘ujub (membanggakan diri, silau dengan diri sendiri). Sifat ‘ujub, hanya membanggakan diri tanpa meremehkan orang. Sedangkan takabbur, disamping membanggakan diri juga meremehkan orang.

Allah berfirman dalam surat Luqman ayat 18:

“ Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Dalam surat al Hadiid ayat 23 disebutkan :

“ (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”

Yang dimaksud dengan terlalu gembira: ialah gembira yang melampaui batas yang menyebabkan kesombongan, ketakaburan dan lupa kepada Allah.

Untuk menghilangkan kesombongan memanglah sangat sulit pada diri kita, namun ketika kita bisa instropeksi diri, insyaAllah kesombangan akan hilang dengan perlahan.

Dalam sebuah artikel disebutkan bahwa sebab-sebab kesombongan diantaranya adalah ‘ujub, merendahkan orang lain, suka menonjolkan diri (taraffu), dan mengikuti hawa nafsu.

‘ Ujub merupakan perkara yang membinasakan, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

شُحٌّ مُطَاعٌ وَهُوَيَ مُتَبَعٌ وَإِعْجَابٌ اْلمَرْءِ بِنَفْسِهِ ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ:

Tiga perkara yang membinasakan: sifat sukh (rakus dan bakhil) yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujub seseorang terhadap dirinya.” [Silsilah Shahihah, no. 1802]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

Ketika seorang laki-laki sedang bergaya dengan kesombongan berjalan dengan mengenakan dua burdahnya (jenis pakaian bergaris-garis; atau pakaian yang terbuat dari wol hitam), dia mengagumi dirinya, lalu Allah membenamkannya di dalam bumi, maka dia selalu terbenam ke bawah di dalam bumi sampai hari kiamat.” [HR. Bukhari, no. 5789; Muslim, no. 2088; dan ini lafazh Muslim]

Hasad

Hasad, iri, dengki merupakan istilah yang hampir sama berarti menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain. Asal sekedar benci orang lain mendapatkan nikmat itu sudah dinamakan hasad, itulah iri. Kata Ibnu Taimiyah, “Hasad adalah sekedar benci dan tidak suka terhadap kebaikan yang ada pada orang lain yang ia lihat.” Hasad seperti inilah yang tercela. Adapun ingin agar semisal dengan orang lain, namun tidak menginginkan nikmat orang lain hilang, maka ini tidak mengapa. Hasad model kedua ini disebut oleh para ulama dengan ghibthoh. Yang tercela adalah hasad yang pertama.

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.”

Tamak

Tamak atau yang lebih dikenal dengan istilah rakus adalah suatu sifat ingin menguasai atau mendapatkan bahagian lebih banyak daripada orang lain. Nama lain bagi sifat tamak ini ialah loba atau serakah. Pada umumnya, sifat tamak itu berkenaan dengan perkara kepuasan dan kemewahan hidup didunia. Tamak terhadap harta benda dengan jalan mengumpulkan harta benda dan kekayaan dengan sebanyaknya. Tidak peduli apakah dengan cara yang halal mahupun dengan cara yang haram merampas hak orang lain, merugikan kepentingan umum dan sebagainya. Nabi Isa a.s. pernah mengatakan bahawa tamaknya manusia terhadap harta benda itu tak ubah seperti orang yang sedang minum minuman yang memabukkan semakin diminum semakin berkurang rasanya dan tak puas-puas. Barulah mereka akan berhenti minum kalau sudah mabuk atau tidak sedar diri.

Sejarah telah menunjukkan bahawa tamak tehadap harta benda atau tamak terhadap kekuasaan itu tidak akan bertahan lama, dan pada tingkat terakhir pasti akan mengalami kejatuhan sebab tidak sesuai dengan menilai-nilai keadilan dan kemanusian. Islam mengendalikan hawa nafsu terhadap harta benda itu dengan mengadakan batasan.

Dalam muslimah.or.id disebutkan bahwa ada 5 cara untuk mengobati penyakit tamak ini, yaitu:

1. Ekonomis dalam kehidupan dan arif dalam membelanjakan harta.

2. Jika seseorang bisa mendapatkan kebutuhan yang mencukupinya, maka dia tidak perlu gusar memikirkan masa depan, yang bisa dibantu dengan membatasi harapan-harapan yang hendak dicapainya dan merasa yakin bahwa dia pasti akan mendapatkan rezeki dari Allah. Jika sebuah pintu rezeki tertutup baginya, sesungguhnya rezeki akan tetap menunggunya di pintu-pintu yang lain. Oleh karena itu hatinya tidak perlu merasa gusar.

“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-’Ankabut: 60)

3. Hendaklah dia mengetahui bahwa qana`ah itu adalah kemuliaan karena sudah merasa tercukupi, dan dalam kerakusan dan tamak itu ada kehinaan karena dengan kedua sifat tersebut, dia merasa tidak pernah cukup. Barangsiapa yang lebih mementingkan hawa nafsunya dibandingkan kemuliaan dirinya, berarti dia adalah orang yang lemah akalnya dan tipis imannya.

4. Memikirkan orang-orang Yahudi dan Nasrani, orang-orang yang hina dan bodoh karena tenggelam dalam kenikmatan. Setelah itu hendaklah dia melihat kepada para nabi dan orang shalih, menyimak perkataan dan keadaan mereka, lalu menyuruh akalnya untuk memilih antara makhluk yang mulia di sisi Allah ataukah menyerupai penghuni dunia yang hina.

5. Dia harus mengerti bahwa menumpuk harta itu bisa menimbulkan dampak yang kurang baik. Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُنْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَأَنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ

“Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang yang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian untuk tidak memandang hina nikmat yang Allah limpahkan kepada kalian.” (Hadits riwayat Muslim)

Hadits ini berlaku dalam urusan dunia. Adapun dalam urusan akhirat, maka hendaklah setiap muslim berlomba-lomba untuk mencapai derajat kedudukan tertinggi. Penopang urusan ini adalah sabar dan membatasi harapan serta menyadari bahwa sasaran kesabarannya di dunia hanya berlangsung tidak seberapa lama untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi, seperti orang sakit yang harus menunggu pahitnya obat saat menelannya, karena dia mengharapkan kesembuhan selama-lamanya.

Demikian mudah-mudahan menjadikan kita lebih baik di bulan Ramadhan ini. Amin.

 

Share this post

Leave a Reply