Human “Pustakawan” Error

Human “Pustakawan” Error

 

Human “Pustakawan” Error

Oleh Ida Nur’aini Hadna

Pengantar

Kapolda Jawa Barat Irjen Polisi Suparni Parto menyatakan kecelakaan tabrakan kereta api Mutiara Selatan dengan Kutojaya di stasiun KA Langen, Kota Banjar, Jawa Barat, pada hari Jumat, 28 Januari 2011 sekitar pukul 03.00 WIB diduga  karena human error. ( diunduh dari Republika.Co.Id tanggal 2/2/2011). Lagi-lagi terjadi kecelakaan kereta api yang kali ini telah merenggut korban meninggal empat orang dan puluhan luka berat. Lagi-lagi human error dijadikan penyebab utama dalam kasus yang sudah terjadi berulang kali di negeri ini. Human error atau kesalahan manusia yang dalam hal ini dilakukan oleh masinis atau pun pengatur signal yang notabene merupakan rakyat kecil, memang hal yang paling mudah dilakukan untuk menghindari kesalahan tanggung jawab pada level pimpinan.

Peristiwa yang sudah terjadi berulang-ulang ini tidak pernah dijadikan sebagai pelajaran agar tidak terjadi kejadian yang sama di masa yang akan datang. Orang hanya sibuk beranalisis soal kecilnya gaji masinis. Namun demikian, itu hanya berhenti pada perdebatan publik tanpa kemudian memberi solusi dengan menaikkan gaji secara signifikan. Barangkali pemerintah sudah menaikkan gaji masinis sebagaimana setiap tahun gaji PNS juga mengalami kenaikan. Tetapi kenaikan yang hanya berkisar 5-10% ini tidak signifikan dan tidak sebanding dengan kenaikan atau lebih tepatnya perubahan harga kebutuhan pokok. Terlepas dari persoalan kecilnya gaji, adakah hal lain yang perlu dicarikan solusinya?

Peristiwa kecelakaan kereta api yang hampir selalu berakhir dengan keputusan masinis atau pun teknisi kereta api sebagai tertuduh utama dengan alasan human error sebenarnya hanya sebuah analogi dari peristiwa-peristiwa yang dialami oleh “wong cilik” dari berbagai sektor di negeri ini, termasuk pustakawan.

Hiruk Pikuk Tugas Pustakawan

Sebagaimana pentingnya seorang masinis dalam menjalankan kereta api, pustakawan di suatu perpustakaan juga memiliki tugas yang cukup penting dalam rangka ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Perpustakaan sebagai sumber informasi ilmiah terutama di lembaga pendidikan, semestinya menjadi rujukan utama sivitas akademika dalam proses pengembangan ilmunya. Pustakawan berperan dalam menyediakan informasi ilmiah yang selalu terupdate dengan baik.

Beberapa tugas pustakawan yang dilakukan sehari-hari dalam menjalankan perpustakaan dapat disampaikan dengan ringkas sebagai berikut. Pertama dalam hal pengadaan koleksi, pustakawan perlu mengadakan kerja sama yang baik dengan berbagai penerbit bahan perpustakaan seperti buku, jurnal, atau CD agar selalu memiliki informasi yang terbaru. Kerja sama juga perlu dilakukan dengan para penyedia jasa layanan database elektronik seperti jurnal elektronik (e-journal) dan buku elektronik (e-book). Hal ini karena tantangan perkembangan IT sehingga koleksi perpustakaan tidak hanya berbentuk fisik seperti buku tetapi juga koleksi jenis elektronik. Kerja sama juga perlu dilakukan dengan para pemustaka atau masyarakat atau civitas akademika di lingkungan Perpustakaan Perguruan Tinggi. Pemustaka sebagai pengguna perpustakaan berhak mengusulkan koleksi yang diperlukannya. Pustakawan perlu meminta pertimbangan pemustaka dalam pengajuan pengadaan koleksi.

Proses Pengadaan koleksi buku merupakan proses pengadaan barang yang cukup rumit di negeri ini. Sebenarnya pengadaan buku memiliki spesifikasi sendiri yang berbeda dengan pengadaan barang dan jasa yang lain seperti pengadaan alat tulis kantor (ATK), barang-barang elektronik, mobil, dan lain-lain. Namun demikian belum adanya Peraturan Pemerintah yang khusus mengatur pengadaan buku, membuat perpustakaan di manapun di negeri ini selalu menjumpai kesulitan dalam proses pengadaan buku. Pada awal tahun anggaran ketika katalog buku itu diajukan, buku tersebut masih ada di pasaran atau di penerbit, tetapi ketika proses pengadaan sudah berlangsung yang biasanya akan memakan waktu yang cukup lama karena melalui proses lelang, buku-buku yang telah diajukan oleh perpustakaan untuk dibeli ternyata sudah tidak ada di pasaran atau penerbit. Hal ini membutuhkan proses addendum atau penggantian buku yang terkadang tidak tepat benar sesuai kebutuhan perpustakaan yang telah direncanakan. Belum lagi menghadapi proses pembelian buku-buku dari luar negeri yang memerlukan waktu hingga 3-4 bulan sedangkan proses administrasi pembelian harus segera diselesaikan.

Berbagai macam workshop telah diadakan guna menghadapi kesulitan proses pengadaan buku, padahal buku merupakan kebutuhan pokok bagi perpustakaan. Namun demikian, sampai saat ini solusi itu belum terwujud juga karena belum ada Peraturan Pemerintah yang memudahkan proses pembelian buku. Walau tidak menafikan adanya oknum yang menyalahi prosedur dalam proses pengadaan buku seperti halnya proses pengadaan barang yang lain, tetapi tanpa mengabaikan hal tersebut tentunya yang kita harapkan adalah adanya Peraturan Pemerintah yang spesifik mengatur pengadaan atau pembelian buku.

Proses selanjutnya setelah pengadaan buku adalah pengolahan buku, yaitu mulai inventarisasi, input data ke database, klasifikasi (penomoran sesuai nomor klas buku yang telah ditentukan), tagging (pemberian chip RFID di setiap buku), finishing yang meliputi labelling dan penyampulan, serta yang terakhir shelving atau penataan buku di rak. Jika sudah selesai berarti buku siap disajikan kepada pemustaka, baik untuk dibaca di tempat maupun untuk dipinjam. Jadi untuk sampai ke tangan pembaca atau pemustaka, buku yang baru saja dibeli memerlukan proses yang cukup panjang. Proses otomasi cukup membantu kelancaran pengolahan buku.

Adanya otomasi perpustakaan, selain membantu proses pengolahan bahan pustakanya juga banyak membantu pustakawan dalam melayani pemustaka. Ditambah lagi sistem open acces (terbuka) dalam layanannya sehingga pemustaka bebas memilih koleksi yang diinginkannya. Walaupun sistem otomasi perpustakaan telah banyak mengurangi kontak langsung pustakawan dengan pemustaka, tetapi peran pustakawan tetap cukup besar dalam melayani pemustaka. Kontak langsung masih tetap berlangsung, baik melalui tatap muka maupun telepon.

Layanan Prima vs Keluhan

Sebagai penyedia jasa layanan informasi, perpustakaan memberikan berbagai macam layanan kepada pengguna atau pemustakanya, mulai dari layanan yang pokok seperti melayani peminjaman dan pengembalian buku, mencarikan sumber rujukan yang diminta, membimbing pemustaka dalam mencari koleksi di OPAC, menjawab pertanyaan pemustaka tentang berbagai hal, kelancaran jaringan internet, dan lain-lain sampai kepada layanan-layanan penunjang seperti peminjaman locker, carrel room (ruang khusus untuk peneliti), kunjungan tamu, menangani pemustaka yang nakal, hingga pada layanan dalam hal kebersihan toilet. Semua itu harus siap dihadapi oleh semua pustakawan.

Seperti telah disampaikan di atas bahwa otomasi perpustakaan telah banyak membantu meringankan pekerjaan pustakawan. Pustakawan tidak lagi dibebani pekerjaan-pekerjaan manual, misalnya di bagian sirkulasi yang dianggap merupakan ujung tombak perpustakaan, dalam hal peminjaman dan pengembalian koleksi tidak lagi sibuk mencarikan kartu buku maupun kartu anggota di kotak kartu. Selain membutuhkan waktu lama untuk pencarian juga membutuhkan ketelitian agar tidak keliru dengan kartu anggota pemustaka yang lain karena akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Bagi pemustaka sendiri otomasi juga telah meringankan bebannya karena dia tidak perlu sibuk mencatat nomor anggota di kartu buku dan di lembar pengembalian.

Banyak hal yang dapat terjadi dalam pelayanan manual. Selain fisik pustakawan yang cenderung lebih lelah daripada layanan yang sudah terotomasi, juga kesalahan dalam pelayanan karena ketidaktelitian juga cenderung lebih besar terjadi sehingga benturan emosi antara pemustaka dan pustakawan lebih sering terjadi.

Otomasi perpustakaan memang telah banyak membantu dan meringankan beban fisik pustakawan. Namun demikian, ada pekerjaan pustakawan yang tidak dapat tergantikan oleh mesin atau alat elektronik seperti shelving atau penataan buku (walaupun sebenarnya sudah ada alat untuk memisahkan koleksi yang telah dipinjam tetapi alat tersebut terlalu mahal untuk perpustakaan-perpustakaan di Indonesia karena masih banyak tenaga manusia yang dapat diberdayakan untuk bekerja). Walaupun otomasi telah mengurangi kontak langsung dengan pemustaka, tetapi hal itu tidak dapat dihindari sama sekali. Kegiatan melayani pemustaka secara langsung tak dapat tergantikan oleh mesin.

Sebelum ada layanan full otomasi ketika terjadi persinggungan antara pustakawan dengan pemustaka hampir selalu kelelahan pustakawan dijadikan kambing hitam. Walaupun tidak dapat dipungkiri hal itu memang dapat terjadi, tetapi seharusnya sebagai layanan publik “perseteruan” dengan pemustaka tidak boleh terjadi, sebab bagaimana pun dalam konsep layanan publik motto “pembeli adalah raja” tetap berlaku.

Masalahnya sekarang adalah ketika perpustakaan sudah full otomasi sehingga pustakawan secara fisik sebenarnya tidak capek lagi, tetapi masalah (konflik) dengan pemustaka tetap ada. Perkembangan Teknologi Informasi yang pesat sepertinya tidak mempengaruhi kualitas layanan pustakawan. Logikanya jika beban kerja pustakawan dengan adanya otomasi sudah berkurang, maka pustakawan akan dapat melayani pemustaka dengan lebih baik. Selain dapat memberikan layanan dengan waktu yang lebih cepat dan singkat, seyogyanya pustakawan juga dapat bersikap lebih ramah kepada pemustaka karena sudah berkurang kelelahan fisiknya. Dengan demikian pemberian layanan prima yang selalu didengungkan diharapkan tidak sekedar sebuah slogan belaka. Namun demikian apa yang terjadi? Keluhan pemustaka atas rendahnya kualitas layanan pustakawan selalu saja terdengar. Stempel terhadap pustakawan yang judes, galak, dan tidak ramah masih tetap melekat di benak banyak orang. Lalu dimana sebenarnya letak kesalahan itu. Apakah selama ini perpustakaan hanya mengejar layanan berbasis TI agar dapat diakses dengan lebih cepat dan luas, sedangkan faktor teknik pelayanan from human for human (dari pustakawan ke pemustaka) yang tidak dapat tergantikan oleh mesin jadi terabaikan atau bahkan tidak terpikirkan? Apakah jika perpustakaan sudah dapat mengikuti perkembangan TI yang pesat dengan cara membeli peralatan yang canggih masalah dengan pemustaka akan teratasi?

Human Error

Seperti telah disampaikan di depan, “rakyat kecil” selalu menjadi kambing hitam dari suatu permasalahan yang menyangkut “orang besar”. Seperti halnya masinis kereta api yang selalu ketiban sampur kesalahan ketika terjadi kecelakaan, maka di perpustakaan pustakawan pun juga dianggap sebagai tertuduh atas buruknya layanan perpustakaan. Orang selalu saja sibuk berdebat masalah human error. Orang sudah puas jika sudah menemukan penyebab terjadinya suatu tragedi. Orang jadi lupa esensi utama untuk mengkaji terjadinya repetisio human error (kesalahan manusia yang berulang-ulang). Benarkah human error cukup ditimpakan kepada pelaku semata. Bagaimana tanggung jawab pimpinan , apakah mereka tidak ikut bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.

Barangkali benar bahwa masinis atau pun pustakawan telah melakukan kesalahan dalam pelayanan sehingga telah merugikan konsumen, tetapi apa yang sebenarnya telah didapat oleh para karyawan selama ini sehingga mereka melakukan kesalahan yang berulang-ulang. Apakah mereka telah diberi kesempatan untuk mengupdate pengetahuan dan keterampilan yang tentunya selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Apakah pemberian hak finansial berupa gaji dianggap sudah mencukupi kebutuhan karyawan. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang hendaknya menjadi pembahasan kita semua jika tidak ingin terus-menerus terjadi “human error”.

Pengembangan SDM

Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan hal yang sangat penting untuk keberhasilan suatu instansi atau pun perusahaan. Semakin efektif dalam pengelolaan SDMnya, maka akan semakin berhasil instansi tersebut. Dalam pengelolaan suatu perusahaan yang profit oriented, kepuasan pelanggan menjadi tujuan utama karena pelanggan tentunya akan lari dan mencari perusahaan lain jika tidak mendapatkan produk yang baguspelayanan prima. Oleh karena itu, perusahaan yang profesional akan memperhatikan karyawannya karena karyawan merupakan ujung tombak perusahaan dalam pemasaran produknya ke konsumen. Pembekalan kepada karyawan intensif dilakukan baik yang berhubungan dengan teknis pengelolaan pekerjaan maupun pengelolaan kepribadian terutama dalam hubungannya dengan pelayanan kepada konsumen. Teknis pengelolaan pekerjaan tentunya terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Apalagi di era globalisasi dan perkembangan Teknologi Informasi yang begitu pesat, jika tidak diiringi dengan pembaharuan teknis pekerjaan dan update pengetahuan, tentunya karyawan akan ketinggalan zaman.. Apakah instansi yang non profit oriented karena tidak bertujuan mencari laba atau keuntungan (nirlaba) kemudian dapat seenaknya saja dalam memberikan layanan kepada konsumennya?

Mengelola SDM merupakan hal yang penting dalam program pengembangan suatu perusahaan maupun instansi, baik yang profit oriented maupun yang non profit oriented (nirlaba). Saat ini layanan prima menjadi tujuan utama suatu perusahaan atau instansi layanan publik dalam memberikan jasa layanannya kepada konsumen atau penggunanya. Tidak terkecuali tentunya adalah perpustakaan sebagai instansi yang melayani publik, perlu mengelola pustakawannya agar dapat memberikan layanan yang memuaskan kepada penggunanya.

Pengelolaan terhadap pustakawan meliputi dua hal, yaitu:

1) Pengelolaan kepribadian

2) Pengelolaan pengetahuan dan keterampilan teknis kepustakawanan

Penjelasan dari kedua hal tersebut adalah sebagai berikut:

1) Pengelolaan kepribadian

Pengelolaan kepribadian meliputi pengelolaan yang berhubungan dengan sifat, sikap, perilaku pustakawan dalam melayani pemustaka. Pustakawan perlu memahami berbagai macam karakter pemustakanya. Menghadapi pemustaka yang masih muda seperti mahasiswa tentunya berbeda dengan pemustaka yang sudah tua atau senior seperti dosen. Apalagi jika yang dihadapi adalah pemustaka yang memiliki kedudukan atau jabatan, misalnya seperti Rektor di suatu Perguruan Tinggi.

Sikap yang ramah serta kepedulian pustakawan untuk membantu pemustaka menggunakan semua fasilitas perpustakaan, tentunya menjadi point penting yang tidak dapat diabaikan oleh pustakawan. Walaupun sudah banyak pekerjaan yang tergantikan mesin, tetapi pemustaka tetap memerlukan jasa layanan pustakawan, seperti misalnya mencari sumber-sumber rujukan baik yang tercetak maupun yang online.

Sikap, sifat, atau pun perilaku pustakawan dalam melayani pemustaka ini perlu tetap dilatih. Agar mereka tetap stabil dalam memberikan layanan prima, maka pustakawan perlu dibekali secara intensif pelatihan-pelatihan kepribadian seperti pelatihan untuk bisa tetap tersenyum, berbicara santun, dapat bekerja sama dengan kelompok, saling menghargai baik antar teman maupun kepada pemustaka. Selain itu, pelatihan spiritual seperti kajian-kajian agama (dalam Islam misalnya kajian Quran dan Hadist) juga dapat memotivasi terbentuknya pribadi yang tulus dan ikhlas dalam membantu orang lain. Salah satu point penting profesionalitas dalam pelayanan adalah sikap untuk mudah melayani pengguna (diperlukan keikhlasan).

 

2) Pengelolaan pengetahuan dan keterampilan teknis kepustakawanan

Perkembangan TI yang cukup pesat di era globalisasi ini juga diikuti oleh perpustakaan dalam pengembangannya. Otomasi perpustakaan telah dilakukan oleh banyak perpustakaan agar layanan dapat dilakukan dengan lebih cepat, tepat, efektif, efisien, dan dapat terakses lebih luas tak terbatas waktu dan ruang. Kecepatan perkembangan ini jika tidak diikuti oleh peningkatan kemampuan dan pengetahuan pustakawan, tentunya menjadi timpang. Pustakawan perlu memperoleh pengetahuan dan pelatihan untuk mengaplikasikan teknologi-teknologi yang sedang berkembang di perpustakaan. Teknis pengelolaan perpustakaan seperti inventarisasi, pengolahan, dan layanan tentunya juga disesuaikan dengan teknologi yang sedang berkembang.

Selain peningkatan kompetensi di bidang TI, bimbingan-bimbingan untuk peningkatan kompetensi pustakawan dalam bidang penulisan juga perlu dilakukan. Hal ini karena pustakawan tidak dapat terlepas dari dunia buku (literature) sehingga dia harus terus menerus mengupdate dunia ilmu pengetahuan. Keluasan pengetahuan ini selain diperlukan untuk membimbing pemustaka atau menjawab pertanyaan pemustaka, juga sebagai bekal dalam penulisan-penulisan makalah, penelitian, pembuatan resensi buku, memberikan materi seminar, dan lain-lain.

Sementara itu, teknik yang dapat dilakukan untuk pengelolaan kepribadian maupun pengelolaan pengetahuan dan keterampilan bagi pustakawan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti workshop, seminar, diklat, outbond, benchmarking atau studi banding, dan lain-lain.

Diperlukan kelapangan hati dari para pimpinan untuk mau mengeluarkan anggaran guna peningkatan kompetensi pustakawan. Tanpa peningkatan kompetensi, maka pustakawan akan terpuruk di tengah globalisasi dan akan tetap dijadikan kambing hitam dari suatu persoalan yang ada di perpustakaan. Selain itu, kompetensi pustakawan juga diperlukan untuk peningkatan kualitas dan citra layanan perpustakaan itu sendiri.

 

Kesimpulan

Peningkatan kompetensi pustakawan perlu terus dilakukan untuk peningkatan kualitas layanan perpustakaan. Peningkatan kompetensi meliputi dua hal yaitu pengelolaan kepribadian serta pengelolaan pengetahuan dan keterampilan teknis kepustakawanan. Jika pengelolaan terhadap pustakawan dapat dilakukan dengan baik, maka keluhan pemustaka akibat human error pustakawan yang sering terjadi dalam layanan perpustakaan dapat dihindari. Namun demikian, untuk melakukan ini semua perlu kebijaksanaan dari pimpinan untuk bersedia mengeluarkan anggaran yang cukup.

 

(Ida Nur’aini Hadna, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

 

Share this post

Leave a Reply